WoW dotA Allstars

This is Description

Saturday, September 27, 2014

Pengaruh Globalisasi Terhadap Perilaku Remaja


MAKALAH GLOBALISASI
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
PERILAKU REMAJA








 






















SMP NEGERI 1 TRAWAS
Jalan Kompi Murlan No. 06
Trawas - Mojokerto
BAB I
GLOBALISASI

A.  Pcngertisn Globalisasi
Kata “globalisasi” diambil dan kata global, yang maknanya ialah universal Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu prosessosial, atau prosessejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekommi dan badaya masyarakat. Dan Globalisasi juga merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
Di sisi lain, ada yang melihat giobalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.

B.  Konsep Globalisasi
Dibawah ini beberapa konsep globalisasi menurut para ahli adalah:
a.   Malcom Waters
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma didalam kesadaran orang.


b.   Emanuel Ritcher
Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
c.   Thomas L. Friedman
Globlisasi memiliki dimensi ideology dan teknlogi. Dimensi teknologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.
d.   PzinceicnN.Ln
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.e. Leonor Briones Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita

C.  Proses Globalisasi
Perkembangan yang paling menonjol dalam era globalisasi adalah globalisasi informasi, demikian juga dalam bidang sosial seperti gaya hidup. Serta hal ini dapat dipicu dan adanya penunjang arus informasi global melalui siaran televisi baik langsung maupun tidak langsung, dapat menimbulkan rasa simpati masyarakat namun bisa juga menimbulkan kesenjangan sosial. Terjadinya perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat, sehingga memunculkan kelompok spesialis diluar negeri daripada dinegaranya sendiri,seperti meniru gaya punk, cara bergaul.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
a.   Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang- barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian depatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dan budaya yang berbeda.
b.   Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dan pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
c.   Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fishion, literatur, dan makanan.
d.   Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, infiasiregional dan lain-lain. Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dan kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan kctidak pastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

D.  Teori Globalisasi
Didalam globalisasi ini Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu
a.   Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga diseluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi .global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pedapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globa1isasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
b.   Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semataatau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi. dan produksi dan perdagangan kapital.
c.   Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi te1ah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai” seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui scbuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langaung “. Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dkendalikan

E. Dampak Globalisasi
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang begitu besar dalam dimensi kehidupan manusia, karena globalisasi merupakan proses iaternasionalisasi seluruh tatanan masyarakan modern. Sehingga terjadi dampak yang beragam terutama pada aspek sosial dampak positifnya kemajuan teknoiogi komunikasi dan informasi mempermudah manusia dalam bainteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan dampak negatifnya banyaknya nilai dan budaya masyarakat yang mengalami perubahan dengan cara meniru atau menerapkannya secaras elektif, salah satu contoh dengan hadirnya modernisasi disegala bidang kehidupan, terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa yang tadinya syarat dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual. Selain itu juga timbulnya sifat ingin serba mudah dan gampang (instant) pada diri seseorang. Pada sebagian masyarakat, juga sudah banyak yang mengikuti nilai-nilai budaya luar yang dapat terjadi dehumanisasi yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.
1)   Dampak Positif
a.   Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b.   Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya iimu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih rnudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c.   Tingkat Kebidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatka taraf  hidup masyarakat.
2)   Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a.   Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b.   Sikap Individualistik
masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.

c.   Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budava negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d.   Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi, maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.

BAB II
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP MORAL REMAJA

Akhir-akhir ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai penyimpangan moral yang teijadi di kalangan masyarakat Indonesia Tawuran pe1ajar, perkelahian antar genk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di kalangan pejabat, praktek korupsi masih merupakan persoalan yang sangat mengerikan di Indonesia. Masyarakat secara umum pada akhirnya kehilangan rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas.
Di kalangan generasi muda, muncul fenomena genk. Hampir semua SMA di Jakarta memiliki genk. Alasan pendirian genk pada intinya sama, yaitu membentuk solidaritas untuk menghantam atau tawuran dengan sekolah lain. Misalnya, di kalangan sebuah siswa SMA di Bulungan terdapat genk sekolah yang sudah tradisi terbentuk setiap angkatan. Anggotanya adalah mayoritas angkatan itu. Misalnya Legiun (angkatan 2003), Salvozesta (2006), Spooradiz (2006) dan lain sebagainya. Di SMA lainnya, nama genk-nya adalah GOR@SIX. Genk anak SMA lainnya lagi adalah Reztearn, ada pula Gazper dari Gazper I sampai Gazper X, dan masih sangat banyak genk di berbagai SMA.
Sidik Jatmika dalam bukunya “Genk Remaja : Anak Haram Sejarah Ataukah Korban Globalisasi ?“ (2010) menyebutkan data, di antara contoh kasus terjadi pada Desember 2009. Saat berangkat sekolah seorang pelajar bernama AS tewas dibacok belasan pelajar. AS (15 tahun) adalah siswa kelas I STM, ia tewas dikeroyok belasan remaja berseragam SMA di JI. Gunung Sahari, Jakarta Pusat hari Rabu, 26 Desember 2009. Hasil pelacakan aparat menunjukkan, peristiwa tersebut merupakan bentuk bentrokan autara anggota genk Boedoet melawan Chaptoen di Kemayoran.
Di Lhokseumawe, Aceh, dua anggota genk cewek SMA terlibat perkelahian, yang dipicu oleh rebutan cowok (31 Mei 2009). Perkelahian disaksikan tujuh anggota genk lainnya yang memberikan support. Di Balikpapan, seorang siswa SMP dihajar oleh lima orang kakak kelasnya dan direkam dengan HP oleh rekan lainnya (27 Nopember 2007). Alasan merekam adegan ini adalah meniru rekaman inisiasi Genk Motor Brigez Bandung. Sementara itu di Kutai Kertanegara, beredar rekaman aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh pelajar putri SMP. Pada rekaman perkelahian remaja putri yang berdurasi 2 menit itu terlihat sekelompok orang berada pada suatu tempat yang cukup lapang yang diperkirakan berlokasi di sebuah kawasan jalan di kota Tenggarong.
“Neko-neko Dikeroyok” (NERO) adalah salah satu genk remaja putri di Jawa Tengah yang cukup populer. Anggota genk Nero sering melakukan penganiayaan terhadap remaja putri SMP dengan alasan, mereka tidak suka kalau ada perempuan lain yang menyaingi dan melebihi apa yang mereka miliki. Misalnya terkait pakaian, gaya rambut atau penampi1an lainnya. Parahnya, penganiayaan tersebut mereka rekam melalui video HP kemudian mereka sebarkan. Di Kupang Nusa Tenggara Timur, kepolisian menangkap para anggota dua genk cewek yang terkenal suka berkelahi (17 Februari 2009). Mereka adalah sembilan siswi anggota genk Anastasia dan tiga siswi anggota genk Aroyo Kupang. Sementara itu 23 siawi lainnya ikut dimintai keterangan pihak kepolisian.
Pada tahun 2010 kemarin, saya sempat membuat penelitian kecil dengan
Mencari berita terkait penyimpangan moral di berbagai media massa. Betapa terkejutnya, dengan sangat mudah saya menemukan beraneka ragam penyirnpangan moral yang dilakukan oleh kalangan pelajar, orang tua, termasuk di kalangan pejabat negara, di kalangan anggota DPR, kepala daerah, anggota TNI dan POLRI, bahkan di kalangan pemuka agama. Semua dari kita telah terkena ujian moral. Bukan hanya anak muda, namun juga orang tua. Bukan hanya masyarakat biasa, namun juga di kalangan pemimpin dan elit bangsa.
McLuhan. secorang pemikir komainikasi, pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village. Namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 1980-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dan University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisasi dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi. William K. Tabb dalam bukunya “Tabir Politik Globalisasi” (2003), mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah yang mencakup banyak aspek dan makna.
Selanjutnya Tabb mengatakan bahwa “Istilah globalisasi berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya. ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney.”
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa, ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt disebut sebagai paradoks, yang minimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari berbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Hal ini juga tampak jelas dalam fenomena berpisahnya Cekoslowakia menjadi dua negara sesuai,etnis masing-masing, yaitu Republik Ceko dan Republik Slowakia. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuhan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka ( berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis.
Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Sejak dari selera makanan, minuman, musik, film sampai kepada sarana komunikasi dan gaya hidup, masyarakat dunia telah memiliki corak yang nyaris seragam. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubab ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya kepribadian yang menipakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan muncul akibat globalisasi. Keluarga dan masyarakat harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner menyatakan bahwa “masa depan atau esok had hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ke tempat yang tidak dikenainya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Kuatnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, memberikan tantangan tersendiri terhadap pengokohan moral dalam kehidupan. Apalagi pada kondisi dimana dunia tengah menyaksikan adanya krisis kemanusiaan. Fenomena krisis dunia akibat globalisasi disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia.
Fritjof Capra menyatakan, “Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Lihat : Fnitjof Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007).
Sinyalemen Capra di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kekhawatiran yang pemah disampnikan oleh banyak kalangan, tentang kondisi krisis kemanusiaan yang tengah melanda dunia saat ini. Mengutip pernyataan Giddens (2000), akar permasalahannya bukan terjadi dari alam, namun terjadi dari manusia sendiri (Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000). Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan pragmatis, pengabaian onientasi ukhrawi (akbirat) dan hanya berorientasi duniawi, telah semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan, kesetakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercerabut dan jiwa manusia, bahknn akhirnya manusia hidup semata-mata mengejar sesuatu yang bercorak pragmaa.
Dalam kondisi kemanusiaan seperti ini, kita diingatkan kembali kepada teori lama dari Daniel Bell yang menenakkan dengan lantang “The End of Ideology”, Daniel Bell menekankan penolakannya terhadap kepercayaan umum selama ini, yang menerima konsepsi menyeluruh tentang problematika sosial budaya sebagaimana diobsesikan oleh berbagai ideologi yang merupakan cara bertindak bagi manusia. Ideologi semacam ini menurut Bell sudah sampai pada akhir kematiannya Ideology, which once was a road to action, ha come to be a dead end. Masyarakat dunia diajak untuk semakin tidak menyakini ideologi, berarti menciptakan tata kehidupan baru minus keyakinan, minus landasan dasar dan falsafah kehidupan itu sendiri. Kendati teori ini ditolak banyak pihak, akan tetapi esensi dari teori Daniel Bell tersebut bisa dilihat dalam kebidupan keseharian masyarakat Indonesia yang serba praktis dan pragmatis.
Penolakan teori Daniel Bell tersebut diantaranya datang dari Sidney Hook, seorang intelektual terkemuka Amerika. Hook menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek yang makin maju, ideologi akan ‘habis’. Pandangan Hook itu disampaikan dalam dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” (1960) tulisan bekas muridnya, Daniel Bell. Bagi Hook, ideologi merupakan sebuah kekuatan yang hebat. Ia mencontohkan perbedaan media massa di Amerika Serikat dengan di Uni Soviet
Di Amerika Serikat, pers bisa menjatuhkan seorang Presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa Negara yang kekuasaannya jauh di bawah presiden. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ideologi pers yang mereka anut. Ini menandakan ideologi tidak mati, justru realitas pada zaman sekarang menunjukkan kebutuban masyanakat dan Negara akan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sebagai panduan menjawab tantangan zaman.
Inilah gambaran sebab-sebab krisis, bahwa manusia telah menciptakan krisisnya sendiri, dan ternyata nilai kemanusiaan terkubur di balik gemerlapnya kemajuan sains dan teknologi. Sisi spiritualitas dan moralitas semakin pudar dan bahkan bisa terkikis habis, oleh pragmatisme dan matenialisme. Tingkah laku, budi pekerti huhur dan moralitas sudah terlumpuhkan oleh budaya hidup instan yang menghendaki kesenangan dan pencapaian tujuan dengan menghalalkan segala cara. Nilai moral semakin ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, yang dengan alasan modernitas telah berpaling dan ikatan budaya Indonesia, menuju kepada budaya global yang tidak seluruhnya sesuai dengan watak serta jati diri bangsa yang religius.
Sayidinian Suryohadiprojo menjelaskan, pengertian modernitas berasal dari perkataan “modern”; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dan modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk setelah bangsa-bangaa Eropa melampau masa Abad Pertengahan. Perkataan “modern” di sini adalah “Eropa centris” atau “Barat centris” karena sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa di Eropa bahkan di Eropa Barat.
Peradaban yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang besar. Kapitalisme menimbulkan kesengsaraan bagi para buruh dan petani, sedangkan impenialisme dan kolonialisme menyebabkan penderitaan yang parah sekali bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika (lihat: Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, http//www.sayidiman.suryohadiprojo.com 31 Januari 1994).
Persoalan memang terjadi dalam spektrum yang sangat luas. Ambruknya moral di kalangan remaja hanyalah dampak saja dan persoalan moral para elit dan pemimpin bangsa. Sayidiman Suryohadiprojo (2003) menengarai kondisi bangsa sekarang. disamping kemikinan dan kesengsaraan yang diderita rakyat ada segolongan orang yang kaya raya sehingga amat menonjol perbedaan dalam kehidupan, dimana kebanyakan rakyat yang scngsara dan segolongan kecil saja yang kaya (lihat : Sayidiman Suryohadiprojo, Harapan Untuk Masa Depan Bangsa Indonesia Tercinta, dalam : http//www.sayidiman.suryohadiprojo.com 22 Januari 2003).
“Hal itu diperberat lagi oleh perilaku golongan orang yang tanpa malu-malu memperkaya diri dengan cara yang tidak sah dan merugikan kepentingan negara dan bangsa. Bahkan Reformasi pada tahun 1998 tidak berhasil menghilangkan perilaku KKN itu dan malahan makin merajalela meliputi pejabat eksekutif maupun legislatif yang seharusrya justru mewakili kepentingan rakyat, Semangat perjuangan yang tertuju kepada kemuliaan negara dan bangsa hampir tidak ada, kalaupun ada semangat peiuangan, maka itu adalah untuk memperkaya diri pribadi, keluarga atau golongan kecilnya”, tulis Sayidiman.
Sujarwadi menengarai berbagai ekspresi masyarakat yang terjadi dewasa ini menunjukkan betapa berat tekanan yang dihadapi publik dari waktu ke waktu, yang ini tampak dari beberapa bentuk gerakan masyarakat: eksklusivitas yang meluas, mutual distrust yang semakin parah, inequality frustration yang mendalam, dan disengagement yang akut. Gerakan eksklusivitas muncul dalam bentuk pengabaian atas keberadaan atau bahkan pemisahan diri dan masyarakat umum, baik dengan parameter etnis, agama, golongan, dan berbagai parameter gaya hidup. Selain dalam bentuk aliran agama yang tidak jarang bersifat sesat, gerakan fundamentalisme, juga kelompok hedonis dalam berbagai tipe yang memisahkan diri dan merupakan counter culture atas tata aturan yang berlaku umum. Fenomena yang diangkat oleh Sujarwadi di atas dengan jelas menggambarkan betapa moral semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat di Indonesia saat ini.
Lebih lanjut Sujarwadi menjelaskan, mutual distrust muncul sebagai bentuk ketidakpuasan yang terjadi dalam hubungan yang bersifat horisontal maupun vertikal. Konflik etnik, agama atau kelas di berbagai tempat telah melahirkan ketidakpercayaan satu sama lain, seperti yang terjadi di Papua, Ambon, Poso, Aceb, dan lingkungan sosial lain. Inequality frustration terjadi dalam bentuk perasaan diperlakukan tidak adil oleh golongan yang berada di atas sehingga cenderung mengambil “jalan pintas” dengan membakar tempat ibadah, membakar fasilitas publik, penjarahan, dan perampokan. “Jalan pintas” inilah yang mengancam terbangunnya niat baik dan cita-cita mulia sebuah pembangunan.
Disengagement atau ketidakpedulian telah menjadi bagian penting dan ekspresi sosial publik sebagai respons atas ketidakpastian yang dialami. Sikap ini juga merupakan pernyataan tentang hilangnya harapan masyarakat akan terjadinya perbaikan dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk ekspresi masyarakat tersebut menipakan tanda perlunya perenungan yang seksama tentang onientasi pembangunan nasional selama ini. (lihat: Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasionat: Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan Bermartabat, Orasi Ilmiah Peningatan Dies Natalis ke-58 UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007).
Untuk bisa keluar dari kiisis kemanusiaan ini, hal yang harus ditempuh adalah perbaikan dari akarnya. Manusia harus hidup dalam kondisi yang berkeseimbangan antara sisi lahiriyah dan batiniyah, sisi fisik dan spiritual, sisi intelektual dan moral, sisi materi dan rohani. Keseluruhan sisi dalam kehidupan harus dioptimalkan untuk menjadikan keseimbangan, sehingga tidak berpotensi menyimpang akibat meninggalkan sisi-sisi yang penting dalam diri manusia, yaitu rohani atau spiritual dan moral. Bagi bangsa Indonesia yang terkenal religius, sesungguhnya telah memiliki jawaban atas persoalan kenianusiaan yang dihadapi akibat globalisasi tersebut.
Wahana pengembalian nilai-nilai kebaikan yang paling efektif adalah melalui keluarga dan masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, keluarga adalah ikatan yang terbentuk secara pimordial dengan sangat kuat pada seluruh anggotanya. Membentuk keluarga adalah salah satu tradisi dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang telah terjadi sejak zaman dulu secara turun temurun. Pembentukan keluarga merupakan potensi budaya, yang pada prakteknya di Indonesia dikemas sesuai dengan tuntunan agama, dan diatur oleh negara. Melalui keluarga, berbagai nilai kebaikan sangat efektif ditumbuhkembangkan dan dibudayakan sejak dini.
Proses interaksi dalam keluarga bercorak sangat intensif dan meibatkan ikatan emosi antara satu dengan yang lainnya. Ada peran dan tanggung jawab yang jelas dalam keluarga, dimana suami, isteri dan anak-anak saling menempatkan diri pada posisi masing-masing secara tradisional. Dalam konteks seperti ini, orang tua memiliki peran sentral untuk menciptakan suasana kebaikan atau ketidakbaikan dalam keluarga. Ayah dan ibu memiliki kewajiban melakukan pembinaan kepada anak-anak agar menjadi anak-anak yang baik berbakti kepada orang tua, bergaul dengan positif di tengah masyarakat dan pada akhimya berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan demikian, penanaman nilai-nilai moral sangat tepat dilakukan melalui keluarga, dan dimulai dari keluarga. Karena dalanm keluarga tersebut, pembinaan sudah mulai terjadi sejak anak belum lahir, yaitu saat masih berbentuk janin dalam kandungan. Hal seperti ini tidak tejadi di sekolah atau lembaga pendidikan formal, dimana pendidikan dimulai pada usia yang telah ditentukan. Apabila keluarga mampu merawat, membangun, dan menumbuhkan moral kepada seluruh anggotanya, akan menjadi pondasi yang kokoh dalam memperbaiki moral bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya, apabila keluarga tidak melakukan penanaman moral kepada seluruh anggotanya, maka akan melahirkan generasi bermasalah yang justru menjadi beban bag!i masyarakat, bangsa dan negara,
Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan, pendidikan sudah harus dimulai sejak bayi masih dalam kandungan. Berbagai usaha dilakukan agar dapat dikomunikasikan kepada Si calon bayi hal-hal yang menjadikannya nanti manusia yang baik dan bermutu. Dalam kebudayaan lokal di Indonesia, seperti di Jawa, ada tradisi berupa macam-macam upacara untuk melakukan komunikasi itu. Setelah lahir bayi perlu diurus dengan sebaikbaiknya agar tetap hidup. Pernberian air susu ibu (ASI) merupakan hal yang penting dan diakui manfaatnya oleh ilmu pengetahuan.
Selain ASI pentig dilihat dari sudut makanan dan fisik bayi, pemberian ASI juga ada hubungannya dengan faktor mental, eperti penanaman disiplin pada bayi. Seperti memberikan ASI pada waktu tertentu dan tidak sembarang waktu, umpama saja untuk menghentikan bayi menangis. Dengan tumbuhnya kcbiasaan tentang waktu menerima ASI dan tidak pada waktu lain patda bayi terwujud kebiasaan mengikuti aturan orang lain. Demikian pula keteraturan waktu dan cara mandi menimbulkan pada bayi dasar untuk hidup teratur nanti (lihat: Sayidiman Suryohadiprojo, Pendidikan Dalam KeIugara. //www.sayidiman.suryohadiprojo.com. 29 November 2007).
Selain keluarga, penanaman nilai moral juga sangat efektif dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Seluruh anggota keluarga pada dasarnya adalah anggota dan sebuah kelompok masyarakat. Dengan demikian, terjadi suasana hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara keluarga dengan masyarakat. Kumpulan dan keluarga yang berkualitas, akan melahirkan masyarakat yang berkualitas. Sebaliknya, masyarakat yang berkualitas akan membentuk dan menguatkan keluarga yang berkualitas. Tidak clapat dipisahkan antara keluarga dengan masyarakat, kendati tidak bisa didefinisikan dengan “mana ayam mana telur”. Kedua lembaga ini jelas memiliki keterkaitan yang sangat kuat dalam membenikan pengaruh satu kepada yang lainnya.
Apabila moral dalam keluarga dan masyarakat berhasil dimantapkan, akan menjadi jawaban ampuh mengbadapi krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh peradaban imodern dan globalisasi saat ini. Kemajuan Indonesia di masa yang akan datang, bertumpu kepada keberhasilan melakukan pemantapan moral dalam kehidupan keluarga dan masyarakat seluruhnya. Ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi mudah dikejar oleh Indonesia, keterbelakangan ekonomi bisa diatasi dengan berbagai program yang dirancang para ahli, namun keruntuhan moral merupakan petaka yang sangat pantas ditangisi. Telah banyak orang pandai, namun tidak memiliki landasan moral yang memadai Dampaknya kepandaian yang dimiliki justru menjadi potensi destruktif yang merugikan bangsa dan negara tercinta.
Tentu saja hal imi merupakan sebuah tantangan berat yang harus dijawab oleh segenap komponen bangsa. Tidak banyak waktu kita miliki, sebelum krisis kemanusiaan semakin menjadi-jadi dan berubah menjadi petaka kemanusiaan yang bisa mengubur sejarah sebuah negara bernama Indonesia. Prof. Dr. Edi Setiyono dan Universitas Indonesia dalam ceramahnya di Lembannas RI, tanggal 5 Oktober 2010 menyatakan bahwa “tidak ada bentuk akhir dan sebuah negara”. Pernyataan mi dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kondisi negara itu sangat dinamis dan sangat mungkin mengalami perubahan bahkan yang sangat ekstrem. Beliau menunjukkan contoh runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya negara-negara yang bergabung dalam blok Uni Soviet. Kendati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi “harga mati” bagi bangsa Indonesia, namun hal itu harus diperjuangkan secara terus menerus.

BAB III
KESIMPULAN

1.   Globalisasi merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
2.   Bahwa proses terjadinya globalisasi dalam aspek sosial terjadi dengan cara melalui media televisi baik secara langsung maupun tidak langsung, serta melalui interaksi yang terjadi dimasyarakat.
3.   Bahwa dampak yang ditimbulkan era globalisasi pada aspek sosial yaitu terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa yang tadinya syarat dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual, serta sifat ingin selalu instant pada diri seseorang.
4.   Bahwa penanggulangan pada dampak era globalisasi pada aspek sosial diantaranya diadakannya pembangunan kualitas manusia, pemberian lifeskill, memberikan sikap hidup yang global dan menumbuhkan wawasan, identitas rasional serta menciptakan pemerintahan yang transparan dan demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony Giddens,The Trird Way,Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial
Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2000
Sayidiman Suryohadiprojo,Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, dalam : http://www.sayidiman.survohadiprojo.com 31 Januari 1994
Sayidiman Suryohadiprojo, Harapan Untuk Masa Depan Bangsa Indonesia Merdeka dalam: www.sayidiman.suryohadiprojo.com 22 Januari 2003
Sujarwadi, Reorlentasl Pembangunan Naslonal : Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan Bermartabat, Orasi ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58 UGM,Yogyakarta,19 Desember 2007
Deni al Asy’ari, Pendidikan dan Problema Moralitas Publik, datam: http://www. imm.or.id, 5 Mei 2008

0 comments:

Post a Comment

 

My Blog List